ALIRAN – ALIRAN PENDIDIKAN
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang
dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan para pemikir yang
bermuara pada munculnya berbagai aliran pendidikan.
A. Aliran EMPIRISMETokoh
aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada
tahun 1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin),
yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih
yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores
oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orang tua (faktor keturunan) tidak
dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan
lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh
dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut
aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat
penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan
anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut
akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya :
Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan
pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya
dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain :
Ketika 2 anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari
mereka
dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik
di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di
sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan
aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan
dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal ada anak yang
berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
B. Aliran NATIVISMETokoh
aliran Nativisme adalah Schopenhauer. Ia adalah filosof Jerman yang
hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan
kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh
karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak
lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak
memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak
sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan
anak itu sendiri. Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan.
Misalnya :
Anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua.
Prinsipnya,
pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang
terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan
fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang
kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan
berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang
hanya sampai pada titik tertentu.
Misalnya :
Seorang anak
yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi
seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga
hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala berikut ini :
Ia bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang
ganas. Ia tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala itu memberi
Crussoe makanan sesuai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara,
ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia.
Kenyataan
ini pun membantah teori Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson
Crussoe itu telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa
pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
C. Aliran NATURALISMETokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. Ia adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme
mempunyai
pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan
baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh
lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Nativisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu :
a.
Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi
interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan
perkembangan di dalam dirinya secara alami.
b. Pendidik hanya
menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan
sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang
mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pendangan yang positif dan
tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari
pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik sendiri.
c.
Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat
dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola
menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan
perhatiannya. Anak dididik secara bebas diberi kesempatan untuk
menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan
perhatiannya
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada
strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor
kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses
belajar-mengajar.
D. Aliran KONVERGENSITokoh aliran
Konvergensi adalah William Stem. Ia seorang tokoh pendidikan Jerman yang
hidup tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau
kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat
bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk,
sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh
lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan
penting
Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh
lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan
bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan
anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa
anak.
Dengan demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan
sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan.
Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa besar perbandingan
pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua
faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
E. Aliran PROGRESIVISMETokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat
menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa
manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia
memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh kecerdasannya
sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan
menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter
peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di
dalam
tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan
rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik
diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana
belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.00
F. Aliran ESENSIALISMEAliran Esensialisme bersumber dari filsafat Idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya
bersifat
ekletik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung
Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan
nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu
menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang
berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad
yang lalu, yaitu zaman Renaisans.
Adapun pandangan tentang pendidikan
dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos
Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui
indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah
Johan Frieddrich Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan.
Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk
mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1853-1909) yang berpendapat bahwa
tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan
susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan kesatuan spiritual.
Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah
turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme
menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu
yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah turun-temurun
dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans
G. Aliran PARENIALISMETokoh aliran Parenialisme adalah Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Parenialisme memandang bahwa
kepercayaan
aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar
pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah
belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan
untuk berlatih berpikir sejak dini. Pada awalnya, peserta didik diberi
kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti
berlogika, retorika, dan bahasa.
H. Aliran KONSTRUKTIVISMEGagasan pokok aliran ini diawali oleh Glambatista Vico, seorang epistemolog Italia. Ia dipandang sebagai
cikal-bakal
lahirnya Konstruksionisme. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997:
24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan
yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu
itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan.
Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang
dibentuk. Pengetahuan tidak bisa dilepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Plaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Plaget mengemukakan
bahwa
pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan
lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu
barang. Menurut Plaget, mengerti adalah adaptasi intelektual antara
pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya,
sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Suparno, 1997: 33).
Plaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi,
akomodasi,
dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur
kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian
kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi (Suwardi, 2004: 24).
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif
dalam
diri seseorang; melalui pengalam yang diterima lewat pancaindra, yaitu
indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan
demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan
dari seseorang kepada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang
yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk
mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi
ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali
pengalaman.
TEORI-TEORI PENDIDIKANA. Teori KONEKSIONISMEEdward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap
berlangsungnya
proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons.
Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) dengan
respons (R). Stimulus akan memberi kesan kepada pancaindra, sedangkan
respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi
seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut
sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem.
Model
eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan
kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar
dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model
pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka jika
tali tersentuh/ tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk
merangsang kucing agar bergerak ke luar. Pada awalnya, reaksi kucing
menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak
menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang
menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang,
ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin
efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara
respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk
membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan
respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan
kuat antara stimulus dan respons. Thorndike merumuskan hasil
eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwandi, 2005: 34-36).
a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau
menolak)
terhadap suatu stimulan. Pertama, bila seseorang sudah siap melakukan
suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya
sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik
yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu
benar-benar dilaksanakan. Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu
tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan.
Akibatnya, ia akan melakukan tingkah laku lain untuk mengurangi
kekecewaan. Contoh, peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian,
tetapi ujian dibatalkan, Ia cenderung melakukan hal lain (misalnya:
berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya. Ketiga, bila
seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus
melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut
akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah
laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi
tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan
tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan
merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar.
b. Hukum Latihan (The Law of Exercise)Hukum ini dibagi menjadi 2, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan
penggunaan
(the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan
berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan
hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan
respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh :
Bila
peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal
perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “Apa
bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia...” maka peserta didik
langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari
kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari,
ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering
diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak
pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum Akibat (The Law of Effect)Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan.
Sebaliknya,
hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan.
Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang menyenangkan
akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak menyenangkan,
akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya
dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (punishment).
Contoh :
Peserta
didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai
baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa
diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau
dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa
malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia
akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan
ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
B. Teori CLASSICAL CONDITIONINSTokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich Paviov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849- 1936.
Teorinya adalah tentang conditioned reflects. Paviov mengadakan
penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang
dilakukan Paviov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi
stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu
ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-
kali,
dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa
diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan air liur dengan
angggapan bahwa dibalik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Paviov
meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori
belajar.
Prinsip belajar menurut Paviov adalah sebagai berikut :
a.
Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/
mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan
perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/ individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
C. Teori OPERANT CONDITIONINSTeori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. Ia membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah
laku
yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke
sana kemari karena melihat daging. Operant Behavior adalah tingkah laku
yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata
ditimbulkan oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh
stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena kucing
itu lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai
dengan 2 tingkah laku tersebut, ada 2 macam kondisi, yaitu pertama,
Respont Conditioning. Kondisi ini sebagai tipe S, karena menitikberatkan
pada stimulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemukakan oleh
Paviov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya
respons. Menurut Skinner, ada 2 prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu :
Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran),
akan cenderung diulangi. Stimulus yang memperkuat reward akan
meningkatkan kecepatan terjadinya
respons operant. Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya
suatu respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner
berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun
hadiah, mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang
dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan,
sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan
hukuman tidak simetris.
D. Teori GESTALTMax Werthelmer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori gestal bermula ketika
Werthelmer
melihat cahaya lampu yang berkedip-kedip saat naik kereta api pada
jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak
datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang
sampai
problem itu terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang mendorong
organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt,
problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya. Organisme
atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus
yang berupa masalah tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada
kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum
mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum
dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar.
Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan
yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di
tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori
Gestalt dengan metode globalnya juga sangat berpengaruh dalam metode
membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori
ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis).
Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya adalah
sebagai berikut :
a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan pada
cerita pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita
ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Karena itu,
dengan mudah anak akan segera dapat membaca seluruhnya dengan menghafal.
Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan
yang diucapkan.
b. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi
kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek
itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antar kalimat diberi warna berbeda,
dan antar kalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan
kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang
berbeda, terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis
semakin menurun dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna berbeda.
f. Setelah mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi; dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara
alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik,
tidak menjemukan, karena dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat yang
mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
tidak mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya
masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya
murid lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya.
E. Teori MEDAN (Field Theory)Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling mempengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah
laku
dan atau proses kognitif adalah suatu fungsi dari banyak variabel yang
muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa
mengubah hasil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh
keseluruhan
jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya,
fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah
laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua
fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta
psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku
seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku
seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya
yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan
menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan
perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang
dalam suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang
dimaksud dengan teori medan dalam psikolog (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt. Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang
belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak
daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya
bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang
akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan
b. Peranan hadiah dan hukuman
Hadiah
dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam
penggunaannya memerlukan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi,
tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya
dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
c. Masalah sukses dan gagal
Kurt
Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah
dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat
intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan
mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui
beberapa hal :
1. Pengalaman sukses dialami bila seseorang
benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya, seseorang yang
ingin lulus dalam suatu program tertentu, kemudian ternyata memang
lulus.
2. Pengalaman sukses dialami bila seseorang sudah berada di
dalam daerah tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus
dalam suatu program bila tinggal mengulang beberapa mata kuliah saja.
3.
Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan
ke arah tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau
telah mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4.
Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara
yang oleh masyarakat dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan.
Misalnya, seseorang merasa sukses bila pada waktu ujian keluar paling
awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang
sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin
tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas 1 SD
tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik
tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf Aspirasi
Pengalaman
sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang. Untuk
itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan
meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah
tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e. Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan psikologis
Sebagai
penerus dan penyempurna aliran gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa
yang diperoleh pertama pada saat belajar adalah pencerahan (insight),
sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder. Memang untuk mencapai
pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas pengulangan bukan
yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak akan
menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari
pemecahan masalah.
F. Teori HUMANISTIKArthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers adalah tiga tokoh utama dalam teori belajar
humanistik. Berikut uraian pendangan mereka :
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku
batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan
seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita
harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang
dirinya. Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia
mengetahui bagaimana peserta didik memmersepsikan perbuatannya pada
suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak
aneh bagi orang lain.
Dalam proses pembelajaran, menurut para
ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi
baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah
keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar
kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena
peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang
menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu
disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan
makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik
dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar
hati karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal
sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini
berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. Ia menyatakan bahwa
dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus
kekuatan yang menghambat.
Suwandi (2005: 54), mengutip pendapat
Maslow, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi
oleh setiap manusia yang sifatnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai
dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang
lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah :
a. kebutuhan jasmaniah
b. kebutuhan keamanan
c. kebutuhan kasih sayang
d. kebutuhan harga diri
e. kebutuhan aktualisasi diri
Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia tersebut
mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh karenanya,
pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu
beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi
tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak
mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada
yang tidak minat belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk
belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi.
Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat
tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan
memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan
yang dibawanya akan mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan.
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang
gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan.
Ia menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar
dan mengajar lebih manusiawi.
Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah :
a. Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan
saja,
betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya.
Dorongan ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan
humanistis. Di dalam kelas yang humanistis, peserta didik diberi
kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin tahu dan
minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya.
Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, dimana seorang pendidik
atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang berarti
Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan peserta
didik.
Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya, anak
cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan
untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar tanpa ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam
lingkungan
yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar
ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba
pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa
mendapat ancaman yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia
dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa
tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi
para humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas
inisiatif sendiri. Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya
sendiri, sehingga memiliki kesempatan untuk menimbang dan membuat
keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan
bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi
lebih baik.
e. Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah belajar
tentang
proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar
mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang
didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi
sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa
yang dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk
mencapai sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang
adalah orang-orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah
dan terus akan berubah. Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna
yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal
ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya
pengembangan pendidikan.
PILAR-PILAR PENDIDIKANAda enam pilar pendidikan yang direkomendasikan
UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip
pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan.
A. Learning to KNOWLearning
to know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi
sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan
setepat-tepatnya, sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan,
namun juga kemampuan dalam memahami makna di balik materi ajar yang
telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang
untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak
hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transedental,
yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
B. Learning to DOLearning
to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model
pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan
“omong” (baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk “berbuat”
(praktek). Semangat retorika lebih besar dari action. Yang dimaksud
learning to do bukanlah kemampuan berbuat mekanis dan pertukangan tanpa
pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar bagaimana
memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan
teori atau konsep intelektualitasnya.
C. Learning to BEMelengkapi
learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa
manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung
dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan
masa jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be akan
menuntun peerta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan
menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai
hasil belajarnya.
D. Learning to LIVE TOGETHERLearning to
live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari
ketiga poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang
untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat
baik bagi diri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.
E. Learning HOW to LEARNSekolah
boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu
masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudah
menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba
modern ini. Oleh karena itu, Learning How to Learn akan membawa peserta
didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar
yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh
percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau
knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang
tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu
pergeseran dari model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model
belajar “menjadi” (mencari/ meneliti). Asumsi yang digunakan dalam model
belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu.
Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima.
Yang dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah penerima
pelajaran, yang akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan
selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut
instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
“menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut
membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovakasi, dan memersuasi.
F. Learning Throughout Learn
Perubahan
dan perkembangan kehidupan berjalan terus-menerus yang semakin keras
dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar
terus-menerus sepanjang hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan
memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan
manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian manusia.
Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka
upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti. Bertolak dari
butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam
abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma
lama menjadi paradigma baru.
Tinggalkan yang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan kondisi terkini. Kembangkanlah nilai-nilai lama yang
sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan pandangan baru yang
sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini adalah
perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif,
serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya
suatu masyarakat dunia yang damai.
Pendidikan untuk perdamaian dunia
hanya mungkin terwujud di dalam suatu pendidikan yang dimulai di dalam
masyarakat lokal yang berbudaya. Kedua, perlunya perubahan metode
penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini
rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk
menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang
patuh dan kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga,
paradigma pendidikan agama yang eksklusif, dikotomis, dan parsial harus
diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik, dan holistis.